Wednesday, August 25, 2010

SUKA DAN DUKA

Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.

Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini!
Kita menerimanya sebagai hal yang "sudah semestinya". Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!

Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.

Petikan dari KPH-DM

Sunday, August 15, 2010

Kasih Sesama Manusia

"Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara," akan tetapi apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan?

Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara" hanyalah orang-orang yang menguntungkan mereka, yang segolongan, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku, dan sebangsa!

Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki?


Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari!
Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu, dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya munafik!
Kebaikan sejati, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran, tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita berbuat baik!
Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!

Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli.

Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta.

Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang terpenting adalah mengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.

Tuesday, August 3, 2010

Abraham Maslow (Teori Hirarki Motivasi)

Teori Hirarki Motivasi (Abraham Maslow)

Penjelasan mengenai konsep motivasi manusia menurut Abraham Maslow mengacu pada lima kebutuhan pokok yang disusun secara hirarkis. Tata lima tingkatan motivasi secara secara hierarkis ini adalah sbb :

1. Kebutuhan yang bersifat fisiologis (Basic Needs).
Kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.

2. Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)
Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.

3. Kebutuhan sosial (Social Needs).
Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.

4. Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs).
Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya seseorang serta prestise yang ditampilkannya.

5. Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization).
Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.

Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.